Sekitar sebulan ini publik kembali gemuruh dengan kasus kematian Jessica, dan Mirna yang didakwa membunuhnya. Hal itu terjadi setelah kanal penyedia layanan pengaliran digital (streaming) Netflix menayangkan sebuah film dokumenter yang berjudul Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso yang dirilis mulai 28 September 2023. Sampai artikel ini ditulis, pro dan kontra tentang kasus tersebut masih saja menjadi perbincangan publik, baik di media konvensional maupun di media sosial misalnya di Youtube atau Podcast.
Media sosial telah mengubah platform tradisi menala media, yakni terbentuknya kepentingan yang saling bersinggungan antara media konvensional dan media sosial. Kini, media konvensional—baik elektronik maupun tulis—tidak segan-segan menulis sumber informasi dari media sosial. Bahkan, tidak jarang jurnalis media cetak atau elektronik mengutip dengan serampangan berbagai informasi yang bertebaran di media sosial tanpa proses verifikasi terlebih dahulu.
Baca juga: Selubung Kabut Kasus Jessica
Sebuah program tayangan atau film biasanya akan merespons hal yang paling umum dan paling dibicarakan, terutama di media sosial saat ini. Pecahnya film berjudul KKN di Desa Penari dengan raihan penonton terbanyak sepanjang sejarah sinema Indonesia tidak terlepas dari gaung cerita tersebut di media sosial.
Kabar bahwa Netflix akan mengangkat peristiwa itu sudah beredar dua tahun yang lalu. Mereka melakukan riset dengan intens, meskipun dari beberapa kru ada isu bahwa mereka harus melakukan pekerjaan tersebut secara diam-diam. Kesan yang penulis tangkap adalah, ini akan menjadi sebuah film dokumenter yang menarik karena kasusnya yang memang kontroversial.
Sama persis ketika ada sebuah kanal penyedia layanan pengaliran digital lain yang saat ini sedang meriset Tragedi Kanjuruhan menjadi film dokumenter. Yang kemudian menjadi kejutan adalah ketika film ini rilis, terjadilah keriuh-rendahan di dunia medis sosial yang berlanjut ke diskusi dan gosip mulai dari warung kopi kaki lima sampai kafe hotel bintang lima.
Film dokumenter dan fakta
Menurut David Bordwell dan Kristhin Thompson, film dokumenter adalah film yang merekam peristiwa nyata dengan memberikan informasi faktual tentang berbagai persoalan dunia. Dan, informasi tersebut dapat dipercaya melalui orang, peristiwa, dan tempat (David Bordwell dan Kristhin Thompson, Film Art an Introduction, New York: McGraw-Hill Companies, 2008 p 338).
Sebuah film dokumenter akan memberikan visi baru kepada penontonnya berupa pencerahan atau pengetahuan baru. Film tersebut akan membuat penonton mengerti tentang sebuah realitas, yang didasarkan kepada beberapa aspek dalam perspektif kemanusiaan dan kebenaran dengan struktur dramaturgi yang berisikan konflik, hiburan, dan komedi. Kekuatan film dokumenter adalah ketika mampu memberikan insight kepada penontonnya tanpa harus berusaha untuk menggurui sekaligus menyetujui.
Dalam perspektif keilmuan, film dokumenter akan menjelaskan fakta secara transparan sementara publik diharapkan menjadi aktif untuk mendiskusikannya. Meskipun film dokumenter pun tidak bisa dilepaskan dari informasi, pendidikan, dan propaganda dari kelompok tertentu.
Kekuatan film dokumenter adalah ketika mampu memberikan insight kepada penontonnya tanpa harus berusaha untuk menggurui sekaligus menyetujui.
Kesetiaan kepada fakta adalah kunci dari sebuah film dokumenter. Oleh karena itu, sebuah proses produksinya membutuhkan waktu yang lama. Misalnya saja, sebuah film dokumenter berjudul Anna: 6-18. Sutradara Nikita Mikhalov membutuhkan waktu hampir 13 tahun, yakni dari tahun 1980 hingga 1983. Film ini menceritakan tentang kisah Anna yang merupakan anak sang sutradara.
Lamanya proses syuting tersebut karena sebuah film dokumenter membutuhkan momen yang tepat untuk diambil gambarnya. Bisa saja jawaban tersebut tidak ada dalam skenario, tetapi sutradara memutuskan untuk memakai footage tersebut karena akan menambah bobot cerita dari film dokumenter yang sedang dibuatnya. Banyak adegan yang tidak diduga justru akan menjadikan sebuah film dokumenter kaya perspektif, atau pola pengambilan gambar yang dilakukan secara candid (pengambilan gambar terhadap obyek secara diam-diam).
Kebenaran
Meskipun demikian, bias akan kebenaran bisa muncul dalam film dokumenter. Penyebabnya bisa karena banyak hal. Misalnya saja proses cuci otak atau pendidikan berlanjut yang dilakukan oleh sebuah rezim. Banyak film dokumenter diproduksi oleh pemerintah Indonesia di masa Orde Baru yang kemudian dikategorikan sebagai film propaganda. Yakni, film yang memang dibuat untuk memberikan impresi baik bagi pemerintah untuk kepentingan stabilitas politik pada masanya.
Apakah rilis film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso akan memantik upaya mencari kebenaran di balik kasus tersebut? Dari tumpang tindihnya informasi di media sosial yang menautkan berbagai narasumber, setidaknya publik mulai mempertanyakan kembali validitas kasus tersebut. Seperti biasa, mulai terbentuk haters dan lovers, siapa yang memihak Mirna dan membenci Mirna. Publik terbelah dan mempertanyakan berbagai hal berkaitan dengan kasus tersebut setelah film dokumenter tersebut ditayangkan.
Keberhasilan film dokumenter tersebut adalah mampu kembali menarik perhatian publik setelah melupakannya sejak 2016. Secara komersial, hal tersebut sangat menguntungkan bagi pihak penyedia layanan pengaliran digital itu. Dengan semakin tingginya tingkat penasaran publik, maka mereka akan menonton dan mengamati tayangan tersebut. Berdasarkan data Netflix, pada hari keempat penayangannya, film tersebut telah ditonton selama 3 juta jam. Ini menjadikan Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso sebagai film Netflix terpopuler ketujuh di dunia selama periode 25 September-1 Oktober 2023.
Baca juga: Film Dokumenter, Energi Baru Perjuangan Warga Menolak Tambang di Dairi
Sebuah film dokumenter berjudul The Thin Blue Line (1988) karya sutradara Errol Morris menjadi tonggak penting tentang peran film dokumenter. Film ini menceritakan tentang kegagalan hukum dalam menegakkan keadilan yang dapat dengan mudah berujung kepada eksekusi hukum terhadap orang yang tidak bersalah di Amerika Serikat. Pengadilan meninjau kembali persidangan dan hukuman Randall Dale Adams atas pembunuhan petugas polisi Robert W Wood di Dallas, Texas, pada 28 November 1976. Film tersebut tidak sekadar mengungkapkan bahwa Adams tidak bersalah, tetapi sekaligus mengidentifikasi pembunuh sebenarnya, yakni David Harris.
Investigasi Morris dalam film dokumenter tersebut akhirnya membebaskan Adams, yang seharusnya menjalani hukuman seumur hidup di penjara setelah Mahkamah Agung AS membuat keputusan prosedural sehingga Gubernur Texas meringankan hukuman matinya. Film dokumenter ini menawarkan kemarahan, kesedihan, dan kelegaan kepada penontonnya.
Film dokumenter tidak berpretensi untuk menawarkan sebuah jalan keluar atau pemecahan masalah. Ia hanya menggulirkan fakta dan data berdasarkan azas kebenaran yang berdasarkan pada realitas, lewat berbagai data-data dan narasumber yang valid. Kebenaran yang sifatnya subyektif itu hanya bisa diresepsi oleh pelaku kebijakan dan penontonnya berdasarkan kapasitas mereka untuk menangkap pesan yang disampaikan oleh film dokumenter tersebut.
Gunawan Raharja, Penulis Skenario
Facebook: Gunawan Raharjo; Twitter: @gundulgunawan69
Sianida, Mirna, dan Film Dokumenter - kompas.id
Kelanjutan Disini Klik
No comments:
Post a Comment