Christopher Nolan merupakan seorang sineas ternama yang kerap menyelipkan teori-teori fisika dalam beberapa filmnya. Sebut saja film bertema penjelajahan luar angkasa Interstellar yang diproduksi Nolan pada 2014. Dalam film ini, Nolan menyelipkan sejumlah teori fisika, seperti relativitas Einstein, lubang cacing, gravitasi, serta konsep ruang dan waktu.
Film lainnya dari Nolan yang menjadikan teori fisika dan sains sebagai salah satu dasar cerita ialah Tenet (2020). Teori fisika yang diselipkan dalam film ini ialah terkait dengan entropi atau tingkat keacakan suatu obyek. Teori fisika ini kemudian dibumbui dengan cerita fiksi berupa teknologi yang bisa membalikkan entropi tersebut sehingga memungkinkan penggunanya dapat membuat waktu berjalan mundur.
Film terbaru dari Nolan yang juga kental dengan teori fisika dan sains ialah Oppenheimer (2023). Film biopik ini mengisahkan fisikawan Julius Robert Oppenheimer saat memimpin pengembangan bom atom dalam Proyek Manhattan. Senjata nuklir pertama di dunia inilah yang digunakan untuk menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II.
Dalam diskusi daring bedah film Oppenheimer yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jumat (28/7/2023), peneliti Senior Pusat Riset Fisika Kuantum BRIN, Zulkaida Akbar, menyebut bahwa Proyek Manhattan tidak hanya sekadar kisah tunggal Oppenheimer. Akan tetapi, banyak kontribusi ilmuwan dari bidang lainnya dalam proyek sains tersebut.
”Sebenarnya banyak pahlawan dalam Proyek Manhattan, contohnya Vannevar Bush yang hanya muncul beberapa detik dalam film ini. Namun, memang benar Proyek Manhattan merupakan salah satu proyek terbesar di Amerika yang puncaknya pada Agustus 1944 pernah mempekerjakan 120.000 orang,” ujarnya.
Proyek Manhattan sebagai salah satu proyek sains terbesar di Amerika ini juga ditunjukkan dari cakupan wilayahnya. Selama ini, publik lebih mengenal wilayah Los Alamos sebagai pusat dari Proyek Manhattan. Padahal, proyek ini terdiri dari ratusan tempat yang tersebar di AS, Kanada, dan Inggris dengan area terbesar di Los Alamos, Oak Ridge, serta Hanford.
Proyek sains ini juga telah menerapkan langsung konsep triple helix yang melibatkan tiga komponen, yakni militer atau pemerintah, institusi pendidikan atau ilmuwan, dan industri. Sejumlah bidang sains yang dikembangkan dalam proyek interdisiplin ini meliputi fisika, kimia, keteknikan, hingga metalurgi untuk mengekstrak uranium dan plutonium.
Baca juga: Oppenheimer, Pencipta dan Penghancur Dunia Baru
Zulkaida menilai bahwa Proyek Manhattan telah memberikan warisan penting terkait dengan keberanian mengambil risiko dalam dunia sains. Sebab, ilmuwan dalam proyek ini akhirnya bisa mengubah reaksi fisi atau pemecahan nuklir menjadi senjata. Sebelum proyek ini berhasil, mengubah reaksi fisi menjadi senjata murni sekadar teori dari para ilmuwan.
Pembuktian yang berhasil dilakukan dalam dunia sains ini kemudian menjadikan dekade tersebut dipandang sebagai periode emas teori fisika. Sebab, seluruh teori dan prediksi yang tertuang dalam jurnal para ilmuwan bisa dipercaya serta dibuktikan secara nyata.
”Jadi, sesuatu yang hanya sebuah teori fisika dalam paper dan spekulatif ketika ditindaklanjuti dengan serius ternyata bisa mengembangkan dua bom dalam tiga tahun. Ini merupakan sebuah warisan,” ujar Zulkaida yang memiliki pengalaman riset di Jefferson Lab.
Warisan dari Proyek Manhattan juga terus dirasakan sampai sekarang karena telah mengembangkan industri baru dengan dasar sains, khususnya teori fisika. Bahkan, tiga lokasi terbesar dari Proyek Manhattan saat ini juga tetap menjadi kawasan sains, yakni Los Alamos (LOS Alamos National Laboratory), Oak Ridge (Oak Ridge National Laboratory), serta Hanford (Pacific Northwest National Laboratory dan LIGO Observatory).
Kawasan sains
Peneliti Pusat Riset Fisika Kuantum BRIN, Suharyo Sumowidagdo, melihat bahwa pengembangan senjata nuklir dari Proyek Manhattan merupakan salah satu kesiapan Amerika untuk menghadapi segala kondisi. Sebab, sejarah menunjukkan banyak negara yang jatuh karena tidak siap ketika diserang oleh pihak lain dengan teknologi yang lebih maju.
Sama sepertinya proyek sains pada umumnya, Proyek Manhattan juga tidak dikembangkan secara tiba-tiba. Proyek ambisius dari ilmuwan dan pemerintah AS ini mulanya merupakan ide visioner terkait pengembangan kawasan sains dan teknologi dari Vannevar Bush.
Pada 1938, Bush yang saat itu merupakan Presiden dari Carnegie Institute berhasil meyakinkan Presiden AS ke-32, Franklin Delano Roosevelt, bahwa penguasaan sains dan teknologi merupakan kunci untuk memenangkan perang. Proposal Bush untuk membuat lembaga yang bisa mengorganisasi semua kegiatan riset dan pengembangan di AS kemudian disetujui Roosevelt hanya dalam waktu 10 menit.
Setelah memiliki sejumlah kontrak dengan total pendanaan mencapai lebih dari 1 juta dollar AS, program pengembangan energi atom mulai fokus dilakukan pada Desember 1942. Program yang awalnya bernama Kawasan Perekayasa Manhattan (Manhattan Engineer District/MED) inilah yang menjadi cikal bakal dari pengembangan Proyek Manhattan.
Berkaca dari sejarah Proyek Manhattan tersebut, Zulkaida menyebut bahwa kegeniusan merupakan produk dari kerja sama dan budaya. Hal ini juga ditunjukkan lewat film Oppenheimer, terutama tokoh dari JR Oppenheimer, Leslie Groves, dan Vannevar Bush. Setiap tokoh memiliki keahlian yang bisa membawa kesuksesan Proyek Manhattan.
Baca juga: Kegelisahan Oppenheimer, Kegelisahan Kita
Ia juga menekankan bahwa setiap negara, termasuk Indonesia, juga bisa terdepan dalam dunia sains bila semua sumber daya dapat dikumpulkan dan dikelola dengan benar. Contoh nyata ini telah berhasil dilakukan Pakistan melalui program nuklir yang diinisiasi sejak 1950.
”Bila dibandingkan, Indonesia lebih kaya dari Pakistan. Saya tidak melihat dari sisi geopolitik, tetapi dari sudut pandang bahwa proyek besar itu bisa dilakukan dan tidak memerlukan banyak orang, tetapi dikelola dengan baik,” ujarnya.
Mendedah Warisan Ilmiah Proyek Manhattan dalam Film ”Oppenheimer” - kompas.id
Kelanjutan Disini Klik
No comments:
Post a Comment