Peradaban Islam ditopang oleh tradisi iqra yang berarti membaca secara menyeluruh dan mengkaji secara mendalam. Tradisi membaca terkikis di zaman modern. Tanpa bekal pengetahuan dan kerendahan hati, orang-orang jadi mudah salah sangka, tak mau kalah, dan malas mendengar. Saatnya kembali menghidupi iqra. Kali ini bukan dari buku, melainkan film.
Orang-orang saat ini begitu cepat tersulut emosinya. Adu pendapat hingga caci maki sudah jadi hal biasa di media sosial. Jika terjadi di dunia nyata, mungkin debatnya sudah sampai lempar-lemparan kursi atau minimal saling berteriak dan menuding.
Ada pula yang merasa benar sendiri dan tutup kuping saat lawan bicaranya berpendapat, apalagi bila sudah membawa-bawa agama. Menyalahkan dia, sama dengan menyalahkan Tuhan. Konflik tak terelakkan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan; sebegitu rapuhkah iman manusia? Seberapa rapuh sampai konflik jadi satu-satunya cara membuktikan keimanan? Padahal, kata Gus Dur, Tuhan tidak perlu dibela.
Agama dan keyakinan pada akhirnya jadi isu sensitif untuk didiskusikan di negara ini. Padahal, diskusi membuka wawasan dan menyuburkan toleransi. Pada akhirnya, toleransi menjamin kelekatan masyarakat.
Dalam bingkai serupa, Madani International Film Festival (MIFF) 2023 memilih tema ”Buhul” yang berarti ikatan. Festival film tahunan ini menayangkan 75 film dari 26 negara, antara lain Iran, Perancis, Palestina, Filipina, Jepang, Indonesia, dan Austria. Ada pula diskusi yang menghadirkan 16 pembicara dari dalam dan luar negeri.
”Kami menghubungkannya dengan makna solidaritas. Buhul adalah bagian dari keseharian budaya maritim. Kapal dan perahu selalu memerlukan tali dengan ikatan yang fleksibel, tetapi kuat untuk menghadapi ketidakpastian gelombang. Madani IFF menawarkan bagaimana menguatkan kembali buhul antarmanusia, dengan Tuhan, dan dengan alam,” kata Direktur Festival MIFF Sugar Nadia di Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Festival yang berlangsung pada 7-12 Oktober 2023 ini diselenggarakan di beberapa lokasi di Jakarta, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM), Epicentrum XXI, Metropole XXI, dan Binus University Alam Sutera. Di TIM, audiens bisa memilih menonton di Kineforum atau Madani Misbar yang serupa area layar tancap premium. Ini pertama kalinya MIFF menyediakan ruang menonton di luar ruangan.
Kaya perspektif
Semua film di festival ini mengisahkan kehidupan kaum Muslim di dunia, baik Muslim sebagai warga mayoritas maupun minoritas. Karena itu, perspektif yang ditawarkan film-film ini amat kaya dan menggelitik untuk dibicarakan. Pada beberapa film, penyelenggara menyediakan sesi diskusi dengan pembuat film.
Sebutlah film dari Filipina, Mindanao (2019). Film karya sutradara Brillante Mendoza ini berkisah tentang keluarga Muslim yang tinggal terpisah. Ibu merawat anak perempuan satu-satunya di rumah, sementara ayahnya yang seorang tentara, bertugas di daerah konflik. Suatu hari, sang ibu pergi membawa anaknya yang sakit kanker ke kota untuk berobat.
Walau terpisah jarak, ketiganya sama-sama hidup berdekatan dengan kematian. Saat hati lemah diuji kematian, mereka sadar bahwa keluargalah sumber kekuatan. Hari-hari gelap mungkin sulit dijalani, tetapi keluarga akan siap menopang sampai kita bangkit kembali.
”Ketika berada di tengah konflik, keluarga pada akhirnya menjadi yang utama, baik bagi keluarga Kristen maupun Islam,” kata Mendoza, Selasa (10/10/2023).
Ia mengatakan, film ini sangat menantang untuk dibuat. Pertama, tokohnya tidak populer karena mayoritas penduduk Filipina beragama Kristen. Kedua, film ini menyentuh isu sensitif yang jarang diangkat pembuat film di sana, yakni isu konflik di Pulau Mindanao, Filipina Selatan.
Baca juga: Kuasa secangkir kopi
Mendoza tidak menyebut secara spesifik konflik mana yang ia maksud. Namun, Mindanao sempat dilanda konflik pada tahun 2017. Konflik ini melibatkan kelompok Maute yang berafiliasi dengan NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah). Kelompok itu lantas menduduki Marawi, ibu kota Provinsi Lanau del Sur, Mindanao. Serang-menyerang antara Maute dan militer Filipina untuk memperebutkan Marawi tak terelakkan.
”Saya memilih cerita ini karena butuh pencerahan, bukan hanya dari komunitas Muslim di Mindanao, melainkan juga audiens di Filipina,” kata Mendoza.
”Saya ingin menyampaikan bahwa hingga sekarang belum ada solusi konkret dari situasi di Mindanao. Isu ini tidak mungkin ada jawaban langsungnya. Tapi, lewat film dan cerita, saya harap orang-orang bisa berdiskusi dan berbuat sesuatu,” tambahnya.
Cerita lain datang dari film asal Palestina, 200 Meters (2020). Film ini mengisahkan keluarga yang tinggal di dua rumah berbeda. Jaraknya hanya 200 meter, tetapi terhalang tembok tinggi yang dibangun Israel di Tepi Barat.
Ibu dan tiga anaknya tinggal di Israel, sementara ayahnya di Palestina. Bertemu di satu rumah tidak mudah karena mereka mesti melewati pemeriksaan ketat di perbatasan.
Ujian tiba saat salah satu anak yang tinggal di Israel kecelakaan. Sang ayah mesti menempuh ratusan kilometer demi tiba di rumah sakit yang merawat anaknya. Perjalanan itu tak nyaman. Selain mesti pergi dengan orang-orang asing di satu mobil, perjalanan pun penuh ketegangan, terlebih saat bertemu oknum berseragam di jalan.
Pada film diselipkan juga sentimen antara orang Israel dan Palestina. Perkelahian keduanya berhasil diredam saat diingatkan ada seorang ayah yang begitu putus asa untuk menuju ke rumah sakit. Kemanusiaan diutamakan.
Ujian kemanusiaan
Penggambaran ini mungkin cocok mengingat konflik yang tengah bergejolak antara Hamas dan Israel sekarang. Ratusan warga sipil telah tewas, ribuan luka dan ratusan lainnya menjadi tawanan. Kemanusiaan tengah diuji.
Namun, di tengah konflik sekalipun solidaritas antarnegara bisa bersemi. Pada film R21 AKA Restoring Solidarity (Palestina), Jepang yang saat itu tengah berkonflik, menyatakan solidaritas ke Palestina yang juga dilanda konflik. Bukti solidaritas itu tersimpan dalam berbagai arsip foto dan video yang terlupakan selama beberapa dekade.
Film pada akhirnya menjadi media untuk mengasah kemanusiaan dan pikiran kritis. Menurut Board MIFF 2023 Garin Nugroho, film bernuansa Islam di Indonesia mayoritas mengajarkan keteladanan, larangan, dan apa yang dibolehkan dalam agama saja. Film belum menggugat isu dan membangun sikap kritis audiensnya.
”Negara yang madani itu merujuk ke (masyarakat) yang membaca dan menafsir,” kata Garin.
”Madani (International Film Festival) memutar film yang membuka ruang dialog karena itu esensi dari membaca dan menafsir,” tambahnya.
Membaca Film, Mengasah Kemanusiaan - kompas.id
Kelanjutan Disini Klik
No comments:
Post a Comment