Perkembangan teknologi membuat akses untuk menonton hingga mengulas film saat ini semakin mudah. Layanan streaming bisa menjangkau penonton lebih luas, seiring dengan media sosial jadi wadah leluasa bagi penonton mengemukakan pendapat atas sebuah karya.
Pandangan, pujian, hingga kritik terhadap karya yang penonton saksikan kini bisa disampaikan melalui cuitan singkat atau utas di Twitter, Facebook, atau podcast. Namun kadangkala, penilaian-penilaian terhadap suatu karya tersebut malah dianggap sebagai serangan oleh kreator.
Situasi tersebut berbeda dengan bertahun-tahun yang lalu ketika kritik film hanya bisa dibaca melalui media cetak yang tentunya melewati proses editorial, atau blog yang mulai berkembang pada 2000-an.
Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri, bentuk dan jenis kritik yang disampaikan di masa sekarang begitu beragam. Kritikus film sekaligus penulis skenario, Eric Sasono, mengatakan hal tersebut jadi situasi nyata yang dihadapi sineas saat ini.
Ia berpendapat tidak semua ulasan yang disampaikan lewat cuitan atau media apapun serta merta disebut sebagai kritik film. Menurutnya, kritik adalah argumentasi yang dibangun dan didukung aspek lain, seperti data, ilustrasi, atau contoh.
"Katakanlah saat ini ada demokratisasi dalam bidang kritik film. Tapi itu sebenarnya ulasan film karena bukan kritik yang serius juga. Di mana semua orang bisa mengekspresikan anggapan mereka terhadap film," kata Eric Sasono kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
"Sebagaimana ekspresi itu kan tidak dipersiapkan matang ya, tidak seperti media massa yang memiliki sistem editorial dan pasti dimatangkan dulu mau ngomong apa sih sebelum diterbitkan."
Sementara itu, cendekiawan seni sekaligus Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma menilai kritik terhadap sebuah film dibedakan dari tingkat kritisnya.
Ia meyakini kritik yang diberikan orang dengan pengalaman menonton sedikit film tentunya berbeda dengan yang menyaksikan banyak film.
"Yang membedakan itu sebenarnya kelas penjelasannya. Orang yang nonton sedikit film bilang film A itu ruwet. Pas ditanya kenapa ruwet nanti cuma jawab 'enggak tahu, cuma buang-buang duit'," kata Seno Gumira.
"Yang sudah nonton banyak film pasti bisa menunjukkan faktor-faktornya, karena plotnya begini, karena alur enggak lancar. Jadi yang membedakan itu kelas penjelasannya," ucapnya.
Sikap yang perlu dimiliki kreator saat ini...
'Please Deal with It'
BACA HALAMAN BERIKUTNYAKritik Film, Antara Demokratisasi dan Kadar Pengetahuan - CNN Indonesia
Kelanjutan Disini Klik
No comments:
Post a Comment