Sulit bagi saya bermimpi untuk membentuk sebuah negara berdaulat. Namun, itu rupanya bukan impian muluk-muluk bagi Giorgio Rosa.
Insinyur mesin kelahiran Provinsi Rimini, Italia itu pernah tercatat dalam sejarah dengan ide gilanya tersebut.
Bukan kendaraan super atau perangkat canggih lainnya, Rosa berusaha mewujudkan impiannya membangun negara. Inisiatifnya itu pula yang menimbulkan insiden di Italia pada pengujung 1960-an, bahkan cukup menghebohkan di dunia internasional.
Kisah nyata sang insinyur gila asal Italia tersebut yang disajikan dalam bentuk film oleh Netflix, Rose Island.
Film besutan sutradara Sydney Sibilia dikemas dengan cerita komedi aneh nan renyah. Sibilia tampaknya paham betul insiden antara Pemerintah Italia dengan 'negara mungil' itu menjadikannya sejarah yang absurd.
Karakter Rosa diperankan aktor Italia Elio Germano. Sifat sang insinyur yang eksentrik, inovatif, namun ceroboh itu menjadi bumbu-bumbu komedi dalam film tersebut.
Di antara adegan yang membuat saya senyum-senyum hingga tertawa adalah ketika mantan kekasihnya, Gabriella (Matilda De Angelis) mengungkit kembali cerita yang membuat ayahnya benci terhadap Rosa.
Gabriella bercerita ayahnya nyaris buta gara-gara Rosa meledakkan televisi tabung milik sang ayah akibat eksperimennya. Namun, Rosa belum juga meminta maaf kepada ayah mantannya itu.
Para pemeran di film Rose Island. (Arsip Netflix via IMDb)
|
Belum lagi ketika Rosa ditilang polisi lalu-lintas Kota Bologna karena membawa mobil aneh hasil ciptaannya sendiri saat membonceng sang mantan pulang.
Polisi menghentikan dan menilangnya karena mobil itu tak terdaftar. Tentu saja, karena itu mobil ciptaannya sendiri.
Suasana kocak ketika polisi memeriksa catatan kriminal Rosa. Rupanya ia pernah menerbangkan pesawat tanpa izin, tentu saja rakitannya sendiri.
Rosa pun bersikeras bahwa itu bukan catatan kriminal.
"Itu larangan terbang. Dua hal yang sangat berbeda. Sesuai arahan hakim, pesawat sayap gandanya kubongkar," jelas Rosa kepada dua petugas polisi.
"Kau terbangkan pesawat tak terdaftar?" tanya Gabriela ikut menginterogasi mantannya itu.
"Ya, kenapa semua perlu didaftarkan? Kita perlu pasang pelat nomor pada bokong tiap burung di Piazza Magiore?" jawab Rosa.
Review film Rose Island. (Foto: Dok. Netflix)
|
Bukan hanya menghadirkan cerita lucu, dialog-dialog maupun adegan di film Rose Island bagi saya menyisipkan pesan khusus. Film itu menyiratkan upaya manusia melawan aturan dan bikrokrasi yang dianggap absurd.
Sejak era 1960-an akhir, gerakan-gerakan melawan pengekangan dan ketidakadilan melalui birokrasi dan aparat memang kerap terjadi. Mungkin pula di era itu menjadi cikal bakal gerakan Anarkisme.
Anarkisme mungkin bisa dijelaskan sebagai paham yang ogah menerima begitu saja narasi kekuatan negara yang dianggap memasung kebebasan individu.
Pergulatan Rosa dalam membangun teritori sendiri lepas dari keruwetan birokrasi negara ini yang diceritakan di film Rose Island. Bagi saya, Rosa ibarat representasi dari gerakan anarkis di eranya.
Tepatnya pada 1967, Rosa bersama teman kuliahnya dulu, Maurizio Orlandini (Fabrizio Bentivigio), membangun anjungan di laut Adriatic, 11 kilometer dari Pantai Rimini, Italia. Lokasinya hanya beberapa ratus meter di luar teritori Italia.
Orlandini digambarkan sebagai sosok anak pemilik pengusaha kapal yang manja dan kerap semena-mena terhadap anak buah. Namun, mudah sekali dipengaruhi Rosa hingga mendanai proyek Pulau Anjungan tersebut.
Ikut pula seorang mantan marketing bar pantai Rimini yang dipecat, Wolfgang Rudy Neumann (Tom Wlaschiha). Sebagai mantan prajurit Tentara Nazi, nasibnya sungguh sial. Paspornya di Jerman dicabut, tapi tak diakui sebagai warga negara Italia.
Di bangunan seluas 400 meter persegi itu mereka mendaklarasikan tak ada aturan negara manapun yang mengikat. Para pengunjung bisa bersenang-senang di 'pulau kebebasan' milik mereka.
Seiring waktu, anjungan laut Rose Island itu semakin populer di kalangan muda-mudi Eropa. Sebagai simbol kebebasan yang tak terikat oleh aturan manapun, Rosa dan kawan-kawan memilih Esperanto sebagai bahasa mereka.
Bahasa Esperanto sendiri sebenarnya diciptakan oleh ahli mata asal Rusia, LL Zamenhof pada 1887. Namun, Esperanto benar-benar hidup dan mendapat tempat di Rose Island.
Mengetahui pulaunya semakin populer, Rosa semakin 'radikal' mewujudkan mimpinya. Ia membulatkan tekad untuk menjadikan Rose Island sebagai negara berdaulat. Terlebih, mendirikan anjungan di luar teritori Italia.
Tepatnya pada 1 Mei 1968, Rosa mendeklarasikan sebuah negara: Republik Rose Island atau Respubliko de la Insulo de la Rozo dalam bahasa Esperanto.
Rose Island pun tak lagi sekadar menjadi entitas bisnis hura-hura di tengah laut. Rosa kini menjadikannya negara dengan bendera, mata uang, bahkan paspor sendiri.
Upaya Rosa itu pun menarik minat orang-orang dari berbagai negara di Eropa untuk pindah "negara".
Rosa bahkan melayangkan surat untuk membentuk negara baru ke markas Persatuan Bangsa-bangsa di New York. Ulah sang insinyur membuat pemerintah Italia terusik.
Perdana Menteri Italia saat itu, Giovanni Leone, geram. Ia melalui Menteri Dalam Negeri Italia, Franco Restivo, kemudian menekan Rosa membatalkan rencana yang mereka sebut konyol itu.
Namun, Rosa tak menggubris. Ia malah meminta bantuan Dewan Eropa untuk menyelesaikan sengketa 'dua negara' tersebut. Italia pun mengancam akan menghancurkan anjungan itu.
Pada akhirnya, sejarah mencatat bahwa satu-satunya teritori yang diserang langsung oleh Italia adalah Republic of Rose Island.
Film Rose Island pun berhasil membangun sebuah skenario yang apik dari keanehan insiden yang pernah terjadi pada 1968 di perbatasan Italia itu.
(has)Review Film: Rose Island - CNN Indonesia
Kelanjutan Disini Klik
No comments:
Post a Comment